BerlayarInfo.com | Pekanbaru – Dalam suasana Hari Pers Nasional awal Tahun 2025 ini, Dunia Jurnalistik kembali diguncang dengan dugaan kriminalisasi terhadap Wartawan.
Seorang Jurnalis senior yang juga Pemred Media nadaviral.com, Bowoziduhu Bawamenewi yang biasa dipanggil Bomen, dipanggil oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau sebagai Saksi untuk klarifikasi terkait dugaan pelanggaran UU ITE pada Jumat mendatang, tanggal 14 Februari 2025.
Pemanggilan ini didasarkan pada Laporan Pengaduan kepada Polda Riau Nomor : B/258/II/2025/Ditreskrimsus yang dilaporkan oleh Direktur RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, drg. Wan Fajriatul Mamnunah, SpKG tanggal 25 Juli 2024 lalu.
Wartawan yang dilaporkan Wan Fajriatul Mamnunah diduga telah menyebarkan informasi melalui Media On-Line yang dianggap bertentangan dengan Pasal 45 Ayat 4 Jo Pasal 27.A UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Kasus Pers harusnya mengacu pada UU Pers, Bukan UU ITE. Polemik muncul karena sengketa pemberitaan, seharusnya diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Polri sendiri memiliki Nota Kesepahaman (MoU) dengan Dewan Pers yang menegaskan bahwa, sengketa Jurnalis tidak seharusnya dibawa ke ranah Pidana sebelum melalui mekanisme penyelesaian di Dewan Pers.
Diketahui, Wartawan yang dilaporkan telah melaksanakan tugas Jurnalistik nya dengan melakukan konfirmasi kepada, Narasumber dan pihak RSUD Arifin Achmad mulai dari Kabag Humas, Kabag Umum hingga ke Direktur Utama RSUD AA.
Namun, laporan tetap bergulir hingga tahap penyelidikan oleh kepolisian daerah Riau. Hal ini memicu dugaan bahwa laporan tersebut lebih bernuansa kriminalisasi terhadap Jurnalis ketimbang penegakan hukum yang berkeadilan terhadap Masyarakat Pers.
Pejabat RSUD AA Pekanbaru yang merupakan bagian dari Pemerintah Provinsi Riau, diduga berupaya membungkam kritik dari elemen Masyarakat, Praktisi Hukum dan Jurnalis.
Jika benar laporan ini berasal dari seorang pejabat tinggi RSUD AA Pekanbaru yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, maka kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan Pers di Indonesia.
Pemberitaan yang mengungkap kinerja pejabat publik seharusnya dikritisi melalui mekanisme Jurnalistik, bukan dengan cara melaporkan Wartawan menggunakan UU ITE.
“Saya kira pemanggilan ini menjadi Alarm serius dan Kode keras bagi kebebasan Pers di Indonesia, terutama di Riau. Jika sengketa pemberitaan langsung dibawa ke jalur Pidana tanpa melalui mekanisme UU Pers, maka ini bisa menjadi alat pembungkaman terhadap kerja Jurnalistik,” ujar Bomen, seorang Aktivis Pers Nasional itu.
Wartawan yang aktif menulis sejak Tahun 1999 itu mengungkapkan, sebagai institusi penegak hukum, Polda Riau diharapkan bisa bersikap profesional dan menghormati MoU yang telah dibuat dengan Dewan Pers sebelumnya.
Penggunaan UU ITE untuk kasus yang seharusnya ditangani melalui mekanisme Pers, hanya akan semakin memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini perlu menjadi perhatian berbagai pihak agar kebebasan Pers tetap terjaga dan tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk membungkam kritik terhadap kinerja Pejabat Publik atau pun Pejabat Penyelenggara Negara.
Bagaimana nasib kebebasan Pers di Indonesia jika Jurnalis terus dibungkam, didiskriminasi dan dikriminalisasi hingga dihadapkan pada ancaman Pidana?
“Jurnalis atau Pers, adalah bagian dari Pilar ke empat pembangunan Demokrasi Bangsa ini. Saya hanya mengingatkan Ibu Wan Fajriatul Mamnunah, bahwa kami, dalam hal ini saya, sebagai Jurnalis hanya menjalankan tugas pemberitaan sesuai fakta kejadian yang didukung Bukti cukup dan berdasarkan keterangan Narasumber. Saya berupaya semampu saya berjuang agar korban atau Pasien mendapat pertolongan Kesehatan dan Keadilan,” tegas Wartawan penerima Piagam dan Sertifikat Penghargaan Juara I dari PJC Pekanbaru sebagai Penulis terbaik.